LUWUK — Suasana duka menyelimuti Tanah Banggai pada 14 Oktober 2025. Tomundo Banggai, almarhum Muh. Chair Amir, berpulang ke hadapan Sang Pencipta.
Bagi masyarakat adat Banggai, kepergian itu bukan hanya kehilangan seorang tokoh, melainkan berakhirnya satu babak panjang dalam sejarah kepemimpinan adat.
Di balik duka itu, tersimpan jejak panjang perjalanan Tomundo. Sosok yang menandai transisi dari kerajaan menuju tatanan adat yang hidup berdampingan dengan negara modern.
Dalam sejarahnya, Tomundo bukan sekadar pemimpin adat. Pada masa Kerajaan Banggai, Tomundo berperan membawahi bidang pemerintahan, ekonomi, pembangunan, hingga urusan sosial budaya.
Struktur itu berjalan hingga tahun 1959, ketika Kerajaan Banggai resmi bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejak saat itu, fungsi pemerintahan dan ekonomi diserahkan kepada pemerintah daerah, sedangkan Tomundo berfokus menjaga adat, kearifan lokal, dan persatuan suku Banggai.
Perubahan itu menjadi penanda penting. Adat tidak lagi berkuasa secara politik, namun tetap menjadi penyangga moral dan identitas budaya.
Sejarah mencatat, sistem pemerintahan Banggai telah mengenal paham demokrasi sejak masa Raja Adi Cokro pada tahun 1600-an.
Sebelum masa itu, Banggai dipimpin oleh seorang Tutu, dan kerajaan belum mengenal sistem musyawarah dalam mengambil keputusan.
Adi Cokro kemudian mempersatukan empat kerajaan besar di Banggai diantaranya Kokini, Singgolok, Katapean, dan Babolao menjadi satu kesatuan. Keempat kerajaan ini kemudian diangkat sebagai Basalosangkap, sebuah sistem yang menentukan siapa yang menduduki tahta raja.
“Pada masa Adi Cokro, Banggai telah menanamkan semangat demokrasi yang diwariskan hingga kini,” tutur Sophansyah Yunan, Sekretaris Dewan Adat Banggai, saat ditemui di kediamannya, Jumat (17/10/2025).
Sebelum dikenal luas, gelar Tomundo Banggai belum digunakan secara formal. Istilah ini baru muncul pada Seba pertama tahun 1986, bersamaan dengan pengukuhan almarhum Muh. Chair Amir sebagai Tomundo Banggai.
Pengukuhan dilakukan setelah wafatnya Raja Banggai ke-20, Babang Sukuran Aminudin Amir, yang membuat jabatan kerajaan sempat kosong.
Sejak itulah, almarhum Muh. Chair Amir menjalankan tugas sebagai penjaga adat dan jembatan antara warisan budaya lama dengan kehidupan masyarakat modern. Ia aktif menghidupkan kembali berbagai prosesi adat, di antaranya Tumpe, Telaga Buton Somawi di Balantak, Baridan di Buko, Tolonikon, dan Mabangun Tunggul.
Namun seiring waktu, sebagian tradisi itu mulai memudar. Kini, hanya prosesi Adat Tumpe yang masih rutin dilaksanakan sebagai simbol pelestarian adat Banggai.
Pemerintah Kabupaten Banggai telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1980 tentang Adat Banggai, kemudian diperbarui menjadi Perda Nomor 384 Tahun 2020.
Peraturan ini menjadi landasan hukum bagi pelestarian adat, meski hingga kini peraturan pelaksana (perbup) belum diterbitkan.
“Implementasi perda itu masih perlu diperkuat agar adat Banggai tetap terjaga dan diakui secara formal,” kata Sophansyah Yunan.
Selain memperjuangkan regulasi, Tomundo Banggai juga mengusulkan pembangunan 12 rumah adat pada masa Bupati Ma’mun Amir. Pembangunan tersebut dibiayai melalui APBD Kabupaten Banggai dan berlokasi di kecamatan lama, bukan di wilayah pemekaran.
Rumah-rumah adat itu kini menjadi aset daerah, meski sebagian memerlukan perawatan agar tetap terpelihara dan berfungsi sebagai ruang ekspresi budaya.
Kepergian Muh. Chair Amir meninggalkan kekosongan kepemimpinan adat. Dalam aturan adat Banggai, pengangkatan Tomundo baru hanya dapat dilakukan melalui Seba, musyawarah adat tertinggi yang melibatkan para Basalosangkap.
“Seba terakhir digelar di Kecamatan Kintom, namun hingga kini belum kembali dilaksanakan,” sebut Sophansyah Yunan.
Untuk sementara, Dewan Adat Banggai telah menunjuk Baharudin Amir sebagai Tomundo sementara, setelah berkoordinasi dengan para pemangku adat dari Bulagi, Liang, Kintom, Batui, Bunta, Lamala, dan Masama.
Penetapan itu disahkan oleh Mayor Ngopa Atmaja Agama, hingga pelaksanaan Seba berikutnya menentukan Tomundo Banggai yang baru.
“Siapa pun yang nanti terpilih, semuanya akan ditentukan lewat keputusan Seba,” ujar Sophansyah Yunan menegaskan.
Bagi masyarakat Banggai, adat bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan ruh kebersamaan dan identitas budaya. Perjalanan panjang Tomundo Banggai menjadi pengingat bahwa tradisi dapat hidup berdampingan dengan perubahan zaman, selama ada yang menjaganya dengan hati dan pengabdian.
Seperti pesan leluhur yang masih dipegang erat oleh masyarakat Banggai “Adat to Banggai, boti molingka, boti mopondoko” — Adat Banggai berdiri teguh dan berakar dalam.
CB: PRZ
