LUWUK — Sebuah video yang diunggah warga lewat media sosial facebook dengan akun Deice Kunde memantik keprihatinan publik, pada 20 September 2025. Rekaman itu menampilkan kepala sekolah, guru, dan murid SDN Dolom di Kecamatan Lobu, Kabupaten Banggai,Provinsi Sulawesi Tengah.
Sejumlah guru dan anak-anak menyeberangi sungai dengan tas buku diangkat tinggi agar tak basah. Mereka menahan arus, menahan napas, demi sampai ke sekolah. Ini adalah bukti nyata bahwa akses pendidikan di sejumlah sudut Kabupaten Banggai masih dituntut oleh keberanian, bukan dijamin oleh infrastruktur publik.
Adegan yang sederhana namun memilukan itu bukan sekadar kisah lokal. Ia menjadi cermin janji pemerataan layanan publik bertemu realitas jalan, jembatan, dan akses yang belum tersedia. Ketika satu anak harus menyeberangi sungai demi mendapatkan pelajaran, maka klaim pembangunan yang inklusif harus dipertanyakan.
Ironi menjadi lebih tajam bila dibandingkan dengan program fisik lain yang tengah berjalan di pusat kota. Mendasari data dokumen lelang perencanaan kolam renang (LPSE Kabupaten Banggai) dan laporan perencanaan/APBD daerah Tahun 2025, pemerintah daerah tengah menggarap proyek venue kolam renang di kawasan GOR Kilongan sebagai fasilitas olahraga.
Diketahui bahwa proyek pembangunan kolam renang ini berbandrol sekitar Rp 15 miliar, bersumber dari APBD Kabupaten Banggai. Untuk tahapan perencanaan saja, terdapat paket konsultansi senilai sekitar Rp 350 juta. Secara makro, APBD Kabupaten Banggai untuk tahun anggaran yang baru direncanakan berada di kisaran Rp 3,19 triliun.
Hal ini memunculkan sejumlah pertanyaan tajam yakni sejauh mana alokasi anggaran pendidikan menargetkan perbaikan akses fisik (jembatan, jalan setapak, penataan sungai) untuk daerah terpencil? Apakah perencanaan infrastruktur yang berorientasi pada pusat kota mengutamakan citra atau menyelesaikan backlog kebutuhan dasar di wilayah pinggiran?
Beberapa data lokal menunjukkan bahwa dinas terkait memang menganggarkan berbagai kegiatan fisik pada 2024–2025, dari rehabilitasi jalan hingga pembangunan fasilitas olahraga, tetapi dokumentasi alokasi yang spesifik untuk perbaikan akses ke sekolah-sekolah pelosok belum dipublikasikan secara mudah di ruang publik. Pertanyaan kemudian pun muncul — untuk siapa pembangunan itu sebenarnya?
Reaksi warganet yang melihat video itu bergerak antara haru dan geram. Bukan pada guru dan murid yang berjuang, tetapi pada sistem yang membiarkan keadaan itu terjadi. Di tengah narasi pembangunan, kebutuhan pokok seperti jembatan penyeberangan, perbaikan jalan setapak, atau fasilitas penunjang sekolah masih terasa jauh dari prioritas di lapangan.
Pemerintah daerah memiliki wewenang dan anggaran untuk menetapkan prioritas. Namun bila anggaran besar, yang secara total mencapai miliaran hingga triliunan rupiah tidak diterjemahkan pada perbaikan akses pendidikan dasar, maka kata-kata soal “membangun manusia” akan kehilangan maknanya. Jika satu anak masih harus menyeberang sungai demi buku, maka indikator keberhasilan pembangunan belum tercapai.
Hingga berita ini diturunkan, postingan tersebut mendapat 300 tanggapan, 100 komentar dan 178 kali dibagikan.
CB: PRZ
