PALU – Rapat Komisi III DPRD Sulawesi Tengah berubah menjadi panggung pengungkapan angka-angka yang mengguncang nurani. Sekretaris Komisi III, Muhammad Safri, menyebut Sulawesi Tengah kini telah “dikepung” izin tambang.
“Sudah ada 628 izin tambang diterbitkan pemerintah. Dari jumlah itu, 131 izin pertambangan mineral logam dan 527 izin pertambangan batuan. Artinya, hampir seperempat wilayah Sulteng telah dikuasai perusahaan tambang, sekitar 500 ribu hektare hutan,” ungkap Safri, yang dikutip Rabu (10/9/2025).
Namun yang lebih mengkhawatirkan, 87 persen izin itu ternyata dikuasai pihak asing. Fakta ini menegaskan, kekayaan alam yang seharusnya menjadi penopang kesejahteraan rakyat justru lebih banyak dikendalikan dari luar.
Di Morowali, Morowali Utara, hingga Parigi Moutong, jalan-jalan negara rusak parah karena dilintasi kendaraan tambang. Bayangkan saja, pemerintah menganggarkan ratusan miliar untuk pembangunan jalan, tapi perusahaan tidak punya tanggung jawab memperbaikinya.
Nada serupa disampaikan Anggota Komisi III, Sadat Anwar Bihala. Menurutnya, yang terjadi adalah ironi. Fasilitas publik yang dibangun negara justru dinikmati perusahaan, tetapi ketika rusak, rakyat yang menanggung akibatnya.
Sadat menekankan, tanggung jawab perusahaan tidak boleh berhenti di meja produksi. Mereka harus ikut memperbaiki dan merehabilitasi wilayah yang telah dieksploitasi. Jangan hanya meninggalkan lubang dan kerusakan.
Data WALHI Sulteng pada akhir 2023 menunjukkan ada 121 badan usaha dengan izin pertambangan nikel yang mencakup 299.185 hektare. Konsentrasi izin itu tersebar di Morowali (53 izin), Morowali Utara (38 izin), Banggai (21 izin), dan Tojo Una-Una (1 izin). Nikel, komoditas strategis dunia, kini menjadikan Sulteng sebagai salah satu episentrum tambang nasional.
Namun, di balik geliat investasi itu, tersisa pertanyaan besar. Untuk siapa sesungguhnya keuntungan tambang ini? Bagi masyarakat, yang tampak jelas justru jalan yang retak, hutan yang gundul, dan potensi konflik sosial yang kian mendekat. Sulteng memang sedang menabung devisa, tapi apakah juga menabung masalah bagi generasi mendatang?
CB: PRZ