ASN Pimpin BUMDes, Warga Bertanya-Tanya

SALAKAN – Aroma janggal tercium dari Desa Lumbi-Lumbia, Kabupaten Banggai Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tengah, tentang praktik yang memantik tanda tanya publik. Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan jabatan kepala sekolah, kini juga tercatat sebagai Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Fenomena ini menimbulkan perbincangan di masyarakat. Sebab, secara normatif, BUMDes dirancang untuk dikelola oleh masyarakat desa sebagai wadah pemberdayaan ekonomi. Sementara ASN, apalagi kepala sekolah, terikat aturan disiplin yang melarang rangkap jabatan di luar tugas utamanya.

“BUMDes itu filosofi dasarnya milik masyarakat. Kalau yang duduk malah ASN, apalagi kepala sekolah, bukankah itu menyalahi semangat UU Desa?” ujar Saprun, kepada media ini, Sabtu (13/9/2025).

Menurut Saprun, aturan sudah jelas. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Permendesa PDTT No. 3 Tahun 2021 menegaskan pengurus BUMDes berasal dari unsur masyarakat desa. Di sisi lain, UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN dan PP No. 94 Tahun 2021 tentang Disiplin ASN melarang aparatur sipil negara merangkap jabatan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Kondisi ini kata Saprun, seakan menggambarkan benturan antara dunia ASN yang sarat aturan dan dunia desa yang mengusung otonomi serta pemberdayaan. Jika dibiarkan, masyarakat khawatir BUMDes hanya akan menjadi “badan usaha elitis”, bukan milik rakyat.

“Kalau BUMDes dipimpin ASN, lalu di mana ruang anak muda desa? Di mana kesempatan masyarakat untuk belajar mengelola usaha?,” ujar Saprun.

Menurut Saprun lagi, Praktik ini bukan sekadar kelalaian administratif, justru diduga terjadi pembiaran yang melukai semangat pemberdayaan desa. Waktu yang akan menjawab, namun masyarakar berhak menuntut kejelasan.

“Ini jelas melanggar semangat pemberdayaan. BUMDes itu seharusnya jadi ajang belajar masyarakat mengelola usaha. Kalau yang memimpin ASN, lalu untuk apa aturan,” tegas Saprun.

Lebih lanjut, Fenomena ini bukan lagi sekadar jabatan rangkap. Lebih dari itu, hal ini akan menyingkap potensi masalah serius. Misalnya akses masyarakat terhadap ruang ekonomi hilang, kaburnya batas disiplin ASN, serta terbukanya celah konflik kepentingan.

Hingga kini, belum ada sikap resmi dari pihak desa maupun instansi terkait. Namun rakyat di Desa Lumbi-Lumbia menunggu. Apakah praktik ini akan dibiarkan, atau ada koreksi tegas demi menjaga marwah BUMDes sebagai “usaha milik desa, bukan milik jabatan”.

CB: PRZ