Pencurian Beras, Kasus Hukum atau Jeritan Sosial?

LUWUK – Kasus kehilangan beras di pedesaan mencuat. Sebanyak 25 sak beras atau setara 1,3 ton milik Hi. Usman (55), warga Desa Sindang Sari, Kecamatan Toili Barat, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah, raib digondol maling. Peristiwa itu membuat korban terpaksa melapor ke Polsek Toili pada 31 Juli 2025.

Laporan ini kemudian ditindaklanjuti kepolisian. Hasil penyelidikan mengarah kepada seorang pemuda berinisial GAS (24), warga Desa Kamiwangi. Pelaku akhirnya diamankan pada Senin (8/9/2025) malam di Desa Dongin.

Kapolsek Toili, AKP Raden Hermawan, menjelaskan kronologi kejadian. β€œPintu gudang beras ditemukan dalam keadaan terbuka dengan gembok rusak. Setelah dicek, 25 karung beras sudah hilang. Korban mengalami kerugian sekitar Rp15,6 juta,” jelasnya.

Polisi menduga pelaku menggunakan modus mencungkil kunci gudang untuk melancarkan aksinya. β€œHasil curian digunakan untuk berfoya-foya,” tambah Raden. Ia menegaskan, pihaknya masih mengembangkan penyelidikan guna mengetahui apakah ada pihak lain yang turut terlibat.

Namun, di balik kasus hukum ini tersimpan catatan sosial yang tak bisa diabaikan. Seorang pemuda yang masih berusia produktif justru terjerumus ke jalur kriminal dengan risiko masa depan yang hancur. Pertanyaannya, mengapa beras yang merupakan kebutuhan pokok, bisa menjadi objek kejahatan di desa yang notabene penghasil padi?

Bagi sebagian pihak, kasus ini sekadar urusan hukum pidana pencurian. Tetapi bagi masyarakat, ini adalah cermin rapuhnya benteng ketahanan sosial. Ketika akses pekerjaan, tekanan ekonomi, atau gaya hidup konsumtif tak terkendali, tindak kriminal sering menjadi jalan pintas yang justru memutus harapan generasi muda.

Kini, proses hukum berjalan. Tetapi pesan sosial yang lebih dalam adalah bagaimana masyarakat dan pemerintah desa bisa memperkuat jaring pengaman sosial, agar pemuda tidak lagi tergoda menggadaikan masa depan hanya untuk “foya-foya” sesaat.

CB: PRZ